LEARNING or TEACHING

Juni 2022
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
27282930  

Paradigma Pembelajaran
Di pentas-pentas mengajar-belajar di Unhas, waktu kita umumnya dihabiskan dengan mendengar kelompok tutor menyanyikan lagu Student Center Learning. Mereka menggemakan How To Learn dari bait ke bait yang syairnya dikutip dari berbagai Leaning Methods. Setelah itu kelompok tutor Teaching Center mendendangkan How To Teach dari Teaching Methods dengan kata pengantar bahwa walau syair ini jadul tetapi juga tak kalah indahnya dibanding How To Learn.

Learning methods atau teaching methods adalah cara mengajar-belajar. Cara itu ditentukan oleh kepecayaan seseorang tentang realitasnya. Belajar adalah proses mencari tahu realitas. Mencari siapakah yang paling sahi sebagai penentu realitas itu. Di Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara menerapkan kepercayaan belajar-mengajar: (1) ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi contoh); (2) ing madya mangun karsa (di tengah memberi semangat); dan (3) tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan).

Ki Hadjar Dewantara percaya bahwa ketika murid kanak-kanak, guru adalah sumber kebenaran bagi muridnya. Guru memberi contoh di depan dan murid mencontoh apa yang dilakukan gurunya. Ketika remaja, guru memberi kesempatan murid belajar dengan didampingi guru. Saat dewasa, murid belajar sendiri dan guru mengambil posisi di belakangnya. Yang pertama, sumber kebenaran adalah guru. Murid belajar dengan mengikuti kebenaran gurunya. Kedua, sumber kebenaran masih pada guru. Guru adalah teman murid belajar. Disini ada interaksi dialog kebenaran antara guru dan murid. Ketiga, guru berada di belakang melepas sumber kebenaran yang dimilikinya yang diberikan kepada muridnya sebagai sumber kebenaran baru.

Kepercayaan siapa pemilik realitas kebenaran yang kemudian dikenal dengan istilah paradigma ini menentukan cara seseorang belajar. Paradigma bukan soal keterpisahan syair lagu antara “learning” atau “teaching”. Teaching Center Learning dalam Taman Siswa ada pada kepercayaan pertama. guru adalah contoh belajar murid. Student Center Learning ada pada kepercayaan kedua. Guru dan murid menjadi teman belajar. Pertanyaannya, apakah hanya dalam Student Center Learning guru dan murid bisa mengambil posisi berteman sedangkan Teaching Center tidak?

Jebakan Student Center Learning
Dalam pelatihan-pelatihan atau workshop-workshop mengajar-belajar di pendidikan tinggi yang sering melibatkan psikolog, peserta selalu diingatkan pentingnya menyadari agar dosen menempatkan mahasiswa sebagai subjek belajar. Kemudian dijelaskan landasan teorinya bagaimana cara manusia belajar sejak kanak-kanak hingga menjadi orang dewasa. Mahasiswa adalah pembelajar dewasa dan subjek belajar yang membutuhkan proses belajar berbeda dengan anak-anak.

Metode belajar mengandalkan kuliah atau ceramah yang menghadirkan dosen berdiri di depan kelas tak lagi dianggap menarik minat belajar mahasiswa. Mereka juga tak lagi tertarik bila diminta membaca buku apalagi membeli buku yang diusulkan oleh dosen, sepeti yang diceritakan Bpk. Didi Rukmana. SCL menawarkan banyak metode pembelajaran orang dewasa dengan tujuan fokus pada keaktifan kereka sebagai subjek belajar. Dosen tidak lagi sebagai ek belajar pemberi contoh atau teladan, melainkan sebagai teman belajar. Mahasiswa berhak menawarkan topik yang akan mereka pelajari dan tidak lagi harus bergantung pada topik yang diberikan oleh dosen. Dalam proses mengajar-belajar, dosen bertugas membantu agar topik pembelajaan menuju sasaran yang diinginkan mahasiswa.

Dalam TCL, yang belajar adalah mahasiswa. Dosen mengajar mereka belajar. Mereka mengikuti proses mengajar-belajar yang diatur sepenuhnya oleh dosen. Yang belajar adalah mahasiswa. Hasil belajar mereka sudah benar atau salah sepenuhnya ditentukan oleh dosen. Sumber kebenaran ada pada dosen sebagai pengarah. Mahasiswa wajib setuju pada benar atau salah yang diputuskannya. Metode ini dianggap menempatkan mahasiswa sekedar sebagai objek mengajar-belajar.

Bila dalam TCL mahasiswa dianggap sebagai objek belajar dan dosen adalah sumber kebenaran, bagaimana dengan SCL? Walau peran mahasiswa dalam metode SCL dikatakan sebagai objek belajar yang aktif, keputusan benar atau salah masih merupakan hak dosen. Sumber kebenaran ada pada dosen. Mahasiswa diberikan hak aktif mendiskusikan tentang pikiran-pikiran mereka, tetapi keputusan tetap menjadi hak prerogatif dosen. Benar kata dosen maka harus benar bagi mahasiswa. Demikian sebaliknya!

Uraian di atas menunjukkan pada kita bahwa walau berbeda sebagai objek dan subjek belajar, baik metode TCL maupun SCL sama-sama menempatkan bahwa sumber kebenaran adalah dosen. Dalam kedua metode tersebut, yang dianggap sedang belajar adalah mahasiswa. Dosen pada TCL adalah pengarah mahasiswa dan pada SCL dosen adalan teman mahasiswa. Oleh sebab itu, walau TCL dan SCL di perguruan tinggi diterapkan untuk belajar-mengajar orang dewasa, kedua metode ini masih dalam tahap pertama dan kedua dari paradigma yang dianut Taman Siswa. Paradigma ketiga yang menempatkan orang dewasa sebagai sumber kebenaran baru tidak terjadi pada kedua metode tersebut.

Pertanyaannya,: (1) Apakah dalam proses mengajar-belajar semua dosen kita memang menganut kepercayaan bahwa kebenaran sejatinya adalah hak prerogatif mereka?; (2) Bagaimana menempatkan mahasiswa sebagai subjek belajar bila kebenaran hanya ada pada dosen semata?

Belajar Dari William Perkin
Di masa lalu metode belajar ditentukan oleh mereka yang dianggap sebagai “pakar” di bidang pendidikan. Mereka melatih para tutor untuk mengajarkan apa yang telah mereka ajarkan kepada para guru termasuk dosen di sekolah-sekolah. Berbagai metode belajar berikut sejarah penemu dan “setting” yang dibutuhkan menjadi santapan di ruang-ruang pelatihan.

Di lapangan, metode belajar yang dilatih para tutor lebih banyak membingungkan para dosen. Tutor menjelaskan bahwa kegagalan terjadi karena dosen tidak mengikuti arahan-arahan yang diberikan oleh tutor. Misalnya “problem based learning” membutuhkan ruangan-ruangan kecil untuk kelompok belajar, tetapi ruangan-ruangan tersebut tidak tersedia. Tutor memberi jebakan yang mana harus didahulukan, ketersediaan ruangan belajar mengikuti kebutuhan metode belajar yang ditentukan atau metode belajar menyesuaikan dengan ruangan-ruangan yang tersedia. Jawabannya adalah metode belajar memiliki SOP yang harus diikuti tahap demi tahap termasuk fasillitas yang dibutuhkan. Bila tidak diikuti, metode itu tak akan gagal.

Metode belajar adalah cara belajar. Keberhasilan suatu metode bukan hanya ditentukan oleh SOP dan fasilitas yang disyaratkan, melainkan oleh bagaimana mereka yang belajar memaknai hakikat belajar. Kepercayaan bahwa rasa ingin tahu itu seyogyanya dilakukan dengan landasan hakikat belajar yang dianut mereka yang belajar. Metode belajar yang sama bisa dilaksanakan berbeda oleh mereka yang punya paradigma belajar berbeda. Metode belajar bukan sekedar perbedaan perlakuan antara TCL dengan SCL. Dosen dan mahasiswa yang berparadigma bahwa sumber kebenaran ada pada dosen saja akan menghasilkan atmosfir belajar yang berbeda dengan dosen dan mahasiswa yang berparadigma bahwa sumber kebenaran bukan hanya pada dosen semata tetapi juga ada pada mahasiswa. Atmosfir belajar dalam metode balajar ditentukan oleh paradigma pembelajar dan bukan sebaliknya.

Umumnya para tutor memberi alasan bahwa walaupun perguruan tinggi menganut paradigma SCL, TCL tak bisa diabaikan katena beberapa mata kulaih spesifik membutuhkan TCL. Misalnya mata kuliah yang berbasis laboratorium dimana prosedur kerja membutuhkan keamanan dan keselamatan kerja tinggi sehingga harus menggunakan metode TCL. Improvisasi tidak boleh dilakukan mahasiswa karena bisa menimbulkan bahaya. Apakah TCL tak bisa dilaksanakan oleh mereka yang berparadigma mahasiswa adalah subjek belajar yang suka berimprovisasi? Kasus berikut bisa dijadikan contoh.

Tahun 1856, William Perkin seorang mahasiswa kimia bekerja di laboratorium ala kadar yang dirancang di lantai atas rumahnya. Dia memanaskan gelas yang berisi tar berminyak yang hitam dan padat, berharap menghasilkan kina sintesis untuk obat malaria. Saat melakukan eksperimen, percobaan Perkin menghasilkan tepung berwarna kemerahan. SOP kimiawan menyatakan bahwa bila hal tersebut terjadi, percobaan dihentikan karena tak akan menghasilkan kina sintetis. Tak ada guna melanjutkan percobaan dan hasil penelitian yang gagal akan dibuang.

Perkin tidak mengikuti SOP, dan tidak membuang limbah tar. Dia melakukan penelitian lanjutan mentransformasi tepung menjadi hitam pekat. Selanjutnya dia memisahkan komponen-komponen zat hitam dan mengeringkannya. Ketika salah satu komponen dia campurkan dengan alkohol, hasilnya adalah warna ungu kebiruan yang indah. Perkin mencoba warna tersebut pada secarik kain sutra. Hasilnya adalah sutra yang berwarna ungu kebiruan yang tidak luntur. Perkin menyebut warna yang ditemukannya dengan nama Perancis “mauve” dan pewarnanya disebut “mauveine”. Penemuan ini menjadi cikal-bakal indutri warna sintetis yang kita kenal saat ini.

Seandainya Perkin mengikuti sepenuhnya SOP kimiawan saat bekerja di laboratorium, tak ada temuan warna sintetis. Orang-orang menyebut apa yang dihasilkan Perkin adalah hasil sebuah kecelakaan prosedur. Saya lebih suka melihatnya sebagai kepekaan seorang mahasiswa yang melihat alternatif lain dari suatu prosedur. Keberanian melihat alternatif lain ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang percaya bahwa SOP di laboratorium masih memberi peluang mahasiswa berimprovisasi tanpa memberi dampak buruk bagi prosedur keamanan dan keselamatan bekerja.Perkin percaya bahwa dia juga punya kebenaran yang tidak dimiliki para kimiawan.

Perkin mengajarkan pada kita bahwa apapun metode belajarnya, semuanya harus dilakukan sesuai dengan paradigma yang dianut oleh mereka yang belajar dan bukan sebaliknya. TCL bagi mereka yang menganut kepercayaan bahwa mahasiswa adalah subjek belajar akan dimaknai berbeda oleh mereka yang percaya bahwa mahasiswa adalah objek belajar. Metode belajar dan prosedur yang dirancang akan menunjukkan paradigma apa yang kita anut. Subjek belajar tak akan pernah terhalangi pencarian kebenarannya hanya karena alasan tidak tersedianya fasilitas. Mereka selalu bisa berimprovisasi sesuai konteks lingkungan dimana mereka berada.

Komunitas Pembelajar
Teknologi informasi telah mengubah dengan paksa tatanan interaksi manusia. Ruang-ruang interaksi manusia tak lagi berbatas. Arsitek masih bisa merancang ruang-ruang privat di gedung besar tempat seorang dosen menyendiri untuk belajaf misalnya. Tetapi kesendirian tersebut tak lagi bermakna seorang diri, karena perangkat TI si dosen terhubung dengan pengguna perangkat TI di berbagai belahan dunia lainnya. Pandangan bahwa ruang-ruang kecil yang menjadi syarat strategi belajar “problem based learning” misalnya patut dipertanyakan pada masa kini. Dengan TI, makna ruang belajar berkelompok harus diredefinisikan kembali, tidak lagi hanya yang dibatasi oleh ruang secara fisik.

Yang positif dari TI adalah tak seorang manusia bisa menyatakan bahwa hanya dialah pemilik suatu informasi termasuk ilmu pengetahuan. Negatifnya, kondisi ini membuat suatu informasi cepat sekali usang. Itulah sebabnya seorang dosen misalnya tak punya pilihan selain memerbaharui bahan ajar mereka setiap saat. Bukan zamannya lagi seorang dosen melaksanakan proses mengajar-belajar menggunakan materi andalannya yang dibuat di waktu lampau dengan alasan bahwa materinya masih “kekinian”, kecuali yang bersangkutan memang tidak pernah lagi belajar.

Paradigma ketiga dari Taman Siswa menunjukkan pada kita bahwa ketika seorang siswa telah selesai belajar, gurunya akan melepas dan mendorongnya berdiri sendiri sebagai sumber kebenaran baru. Status guru dan murid kalaupun masih ada tak lebih hanya sebagai penghormatan, sedangkan derajat keduanya sebagai subjek belajar adalah setara. Tentu bila diminta, kita semua akan penuh semangat mengakui bahwa kita juga adalan penganut paradigma baru dimana realitas tidak bersifat tunggal melainkan majemuk. Sumber kebenaran ada dimana-mana dan semuanya punya alasan untuk dikatakan sahi. Dosen dan mahasiswa setara haknya sebagai sumber kebenaran. Mereka bukan sekedar sebagai teman, melainkan mitra belajar. Tetapi apakah paradigma tersebut sungguh-sungguh melekat dalam penyelenggaraan proses mengajar-belajar yang kita lakukan sehari-hari?

Ketika seseorang sadar bahwa informasi ilmu pengetahuan yang dimilikinya ternyata cepat sekali usang, maka dia akan terus menerus belajar – menjadi pembelajar seumur usia – memerbaharui informasi yang dimilikinya. Bila otak diibaratkan “hardisk” yang kapasitasnya terbatas, informasi baru tidak akan bisa masuk bila hardisk itu penuh. Oleh sebab itu harus ada keberanian menyediakan ruang kosong agar informasi baru tidak ditolak oleh hardsik tersebut. Tentu yang dibuang adalah informasi yang sudah usang. Semakin berat hati membuang informasi usang, semakin sulit tersedia ruang kosong untuk informasi baru.

Seorang yang menempatkan diri sebagai pembelajar selalu tahu diri bahwa informasi yang dimilikinya hanya sekeping dari informasi utuh yang disediakan oleh semesta. Ibarat gambar “puzzle” pembelajar-pembelajar lain juga memiliki kepingan gambar. Masing-masing kepingan adalah unik, tidak sama persis walau mungkin nampak mirip. Pembelajar sejati percaya bahwa semakin banyak kepingan gambar dikumpulkan, maka semakin jelas wujud realitas yang akan tampil. Oleh sebab itu para pembelajar percaya bahwa di dalam komunitas pembelajar “berbagi (sharing)” menjadi hal penting untuk memercepat terciptanya tampilan wujud utuh suatu realitas.

“Berbagi artinya memberi, bukan meminta.” Dosen yang menjadi pembelajar selalu rindu bertukar informasi dengan sesama pembelajar lainnya. Selalu ingin mendapatkan informasi dari sesama anggota tim dosen misalnya. Ketika seorang teman dosen memberi kuliah, dosen pembelajar merasa ringan hadir di kelas untuk ikut belajar. Dosen pembelajar yang sedang memberi kuliah juga tak berat hati untuk berbagi informasi yang dimilikinya kepada pembelajar lain. Itulah sebabnya mengapa komunitas pembelajar mengandalkan kehadiran seluruh anggota tim dosen dalam suatu proses belajar-mengajar. Mereka ingin melihat realitas sebagai sesuatu yang utuh dan bukan kepingan-kepingan informasi yang harus dikuasai orang per orang. Kelas-kelas pembelajar selalu membuka diri akan kehadiran siapa saja untuk terlibat dalam proses mengajar-belajar secara aktif maupun pasif. Rumusnya, semakin banyak yang hadir, semakin kaya informasi komunitas belajar. Seperti situs daring yang tingkat keberhasilannya diukur bukan lagi dari jumlah bayaran pengunjung, melainkan dari jumlah kunjungan dan interaksi.

Perubahan radikal dari makna belajar menghadirkan pertanyaan siapa yang bertanggungjawab terhadap kualitas informasi seorang pembelajar? Ketika pengakuan sumber kebenaran hanya pada dosen, kadar kualitasnya ditentukan oleh paguyuban dosen. Mereka yang berhak menyatakan wujud realitas yang hadir pada suatu komunitas itu sahi atau sesat. Benar kata mereka bearti “halal”, sebaliknya salah berarti “haram”. Risiko dari pengakuan bahwa sumber kebenaran tidak lagi berada di tangan satu orang menuntut perubahan sikap bahwa kadar kualitas informasi tidak boleh dikuasai oleh satu orang. Harus ada peluang penentuan kadar kualitas itu bagi orang kedua, ketiga, dan seterusnya, agar kadarnya meyakinkan. Bagi komunitas pembelajar, penentuan kadar kualitas pada satu orang adalah kezaliman terhadap kesadaran bahwa semua orang berhak melihat realitasnya masing-masing. Kadar kualitas ditentukan oleh nilai-nilai yang dianut oleh masing-masing komunitas. Nilai-nilai tersebut beragam dan tidak pernah tunggal.-

deneme bonusu veren siteler - canlı bahis siteleri - casino siteleri casino siteleri deneme bonusu veren siteler canlı casino siteleri
deneme bonusu veren sitelerdeneme bonusubonus veren sitelerdeneme bonus siteleriporn