Estetika

Estetika Kembali Estetika itu soal keindahan yang berbeda dengan kecantikan. Saat berbicara tentang kecantikan, kita berbicara hanya tentang sensasi visual yang dirasakan oleh indera penglihatan semata. Berbeda dengan keindahan yang dirasakan bersama oleh seluruh pusat-pusat sensasi tubuh. Keindahan membuat seluruh indera kita bergetar terhubung dengan obyek yang kita amati. Semua terasa begitu menyatu, harmonis dan selaras. Semua komponen dalam suatu obyek terasa pas dan kompak, tak ada yang kurang atau berlebihan. Kalau tokh ada yang secara manusiawi terasa kurang, maka sensasi yang kita rasakan memberi peluang untuk memaafkan kekurangan-kekurangan tersebut. Demikian halnya bila ada komponen yang dianggap berlebih, keberlebihannya tidak sampai pada taraf menimbulkan rasa muak. Rasa keindahan itu bersifat universal, tetapi keindahan itu sendiri bersifat kontekstual. Benar pada tempatnya dan tepat pada waktunya! Dalam pengamatan keindahan, obyek tidak berdiri sendiri, melainkan sebagai bagian dari lingkungan sekitarnya. Kita mengatakan hidung mancung plastik yang terletak pada wajah orang Papua sebagai cantik, tetapi tidak sebagai indah. Mungkin tepat pada waktunya karena standar hidung yang dianggap mempesona adalah mancung. Tidak benar pada tempatnya, karena hidung mancung itu bukan milik perempuan Papua. Hidung mancung di wajah perempuan Papua terlihat sebagai tempelan atau pinjaman, yang seolah bisa tanggal setiap saat karena tidak melekat dengan kuat dan menyatu dengan struktur wajah. Sensasi terhadap estetika atau keindahan bisa didapatkan secara alami, tetapi juga bisa melalui latihan. Mereka yang berada dalam komunitas berselera baik, tentu akan lebih mudah merasakan sensasi keindahan, sebaliknya mereka yang berada dalam komunitas berselera buruk. Telah dikatakan bahwa saat merasakan keindahan, seluruh indera kita bergetar terhubung dengan obyek yang diamati. Kepekaan pusat-pusat indera yang bisa merasakan keindahan secara serentak, membuat seseorang yang berselera baik terhadap keindahan visual akan berselera baik pula terhadap keindahan suara, rupa, rasa dan aroma. Maka itu tidak mengherankan bia mereka yang berselera baik memiliki kecenderungan terlibat di berbagai macam komunitas yang berkaitan dengan sumber-sumber keindahan dan tidak melekat hanya pada satu macam aktifitas saja. Makassar, 16 November 2012

Visi

Visi Kembali Sebuah catatan untuk institusi dan diri sendiri!Ketika engkau menyatakan akan menjadi yang nomor satu, yang terbaik, yang terhebat dibanding dengan yang lain, maka itu adalah ambisi, adalah nafsu menguasai. Survival of the fittest! Visi lebih dari sekedar ambisi atau nafsu. Visi dibentuk oleh cara kita melihat dan menikmati semesta. Cara kita menjadi bagiannya, dan cara kita terkoneksi dengan bagian-bagian yang lain. Ketika dalam pengungkapan visi ada terbersit keinginan menguasai, maka itu berarti ada yang harus dikuasai dan ada yang dianggap perlu dimusnahkan. Ada pihak yang harus disingkirkan. Padahal dalam semesta ini, makhluk sesederhana protozoa-pun jelas fungsinya bagi makhluk yang lebih kompleks darinya. Visi yang baik hanya mungkin lahir dari cara pandang yang baik, ketika kita melihat semesta ini sebagai suatu konfigurasi sistem, dimana tak ada satu-pun komponen semesta merasa tidak bergantung pada komponen yang lain. Semakin kaya pola-pola kesaling-tergantungan antar komponen, semakin stabil dan harmonis sistem itu menata dirinya. Sistem yang baik selalu kontekstual. Kegagalan-kegagalan suatu sistem adalah ketika anda ingin menjadikan Makassar sebagai Singapura, Hong Kong, atau Jakarta. Kegagalan yang sama juga terjadi ketika anda ingin Unhas menjadi Havard, Oxford dan semacamnya. Bungkus fisik memang dapat bahkan selalu berubah untukmenyesuaikan diri dengan pengaruh-pengaruh dari berbagai sistem yang terhubung dengannya. Tetapi bungkus fisik yang berubah-ubah itu tidak dapat mengubah “gen” dan “mem” yang menjadi identitas diri. Gen dan mem berfungsi untuk menunjukkan bahwa setiap yang diciptakan memiliki keunikan. Keunikan inilah menjadi anugerah setiap ciptaan untuk menunjukkan bahwa “dia berbeda dengan yang lain”, dan konsekuensinya dia memiliki hak keberlanjutan hidup. Oleh karena itu semua pernyataan yang mengungkapkan keinginan menjadi sebagai Singapura, Hong Kong, Havard, Oxford dan semacamnya, hanya menunjukkan bahwa kita tidak mengenal bahkan diri kita sendiri. Dengan menjadi mereka, engkau tidak akan pernah bisa menjadi nomor satu, sebab energy yang engkau miliki hanya dihabiskan untuk meniru dan meniru, tidak untuk memperbaiki kualitas diri sendiri. Engkau hanyalah anggota dari kumpulan para “follower”. Follower tidak pernah menjadi nomor satu. Mereka yang tidak mengenal dirinya akan memungut apa yang dibuang orang lain dan akan membuang yang mereka miliki untuk dipungut oleh orang lain. Visi itu adalah harapanmu, mimpimu, angan-anganmu, untuk menampilkan dan mengenalkan kepada dunia bahwa engkau dengan keunikanmu ada dalam semesta ini. Hanya keunikan yang membuat kita pantas dilirik oleh pihak yang berbeda dengan kita. Visi adalah keinginan untuk menunjukkan bahwa dengan keunikanmu, engkau bukan saja setara dengan mereka yang berbeda denganmu, tetapi juga dibutuhkan untuk membuat semesta ini lengkap. Visi adalah kerinduan seorang hamba untuk ikut berpartisipasi mengisi peradaban dunia.

LEARNING or TEACHING

LEARNING or TEACHING Kembali Paradigma PembelajaranDi pentas-pentas mengajar-belajar di Unhas, waktu kita umumnya dihabiskan dengan mendengar kelompok tutor menyanyikan lagu Student Center Learning. Mereka menggemakan How To Learn dari bait ke bait yang syairnya dikutip dari berbagai Leaning Methods. Setelah itu kelompok tutor Teaching Center mendendangkan How To Teach dari Teaching Methods dengan kata pengantar bahwa walau syair ini jadul tetapi juga tak kalah indahnya dibanding How To Learn. Learning methods atau teaching methods adalah cara mengajar-belajar. Cara itu ditentukan oleh kepecayaan seseorang tentang realitasnya. Belajar adalah proses mencari tahu realitas. Mencari siapakah yang paling sahi sebagai penentu realitas itu. Di Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara menerapkan kepercayaan belajar-mengajar: (1) ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi contoh); (2) ing madya mangun karsa (di tengah memberi semangat); dan (3) tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan). Ki Hadjar Dewantara percaya bahwa ketika murid kanak-kanak, guru adalah sumber kebenaran bagi muridnya. Guru memberi contoh di depan dan murid mencontoh apa yang dilakukan gurunya. Ketika remaja, guru memberi kesempatan murid belajar dengan didampingi guru. Saat dewasa, murid belajar sendiri dan guru mengambil posisi di belakangnya. Yang pertama, sumber kebenaran adalah guru. Murid belajar dengan mengikuti kebenaran gurunya. Kedua, sumber kebenaran masih pada guru. Guru adalah teman murid belajar. Disini ada interaksi dialog kebenaran antara guru dan murid. Ketiga, guru berada di belakang melepas sumber kebenaran yang dimilikinya yang diberikan kepada muridnya sebagai sumber kebenaran baru. Kepercayaan siapa pemilik realitas kebenaran yang kemudian dikenal dengan istilah paradigma ini menentukan cara seseorang belajar. Paradigma bukan soal keterpisahan syair lagu antara “learning” atau “teaching”. Teaching Center Learning dalam Taman Siswa ada pada kepercayaan pertama. guru adalah contoh belajar murid. Student Center Learning ada pada kepercayaan kedua. Guru dan murid menjadi teman belajar. Pertanyaannya, apakah hanya dalam Student Center Learning guru dan murid bisa mengambil posisi berteman sedangkan Teaching Center tidak? Jebakan Student Center LearningDalam pelatihan-pelatihan atau workshop-workshop mengajar-belajar di pendidikan tinggi yang sering melibatkan psikolog, peserta selalu diingatkan pentingnya menyadari agar dosen menempatkan mahasiswa sebagai subjek belajar. Kemudian dijelaskan landasan teorinya bagaimana cara manusia belajar sejak kanak-kanak hingga menjadi orang dewasa. Mahasiswa adalah pembelajar dewasa dan subjek belajar yang membutuhkan proses belajar berbeda dengan anak-anak. Metode belajar mengandalkan kuliah atau ceramah yang menghadirkan dosen berdiri di depan kelas tak lagi dianggap menarik minat belajar mahasiswa. Mereka juga tak lagi tertarik bila diminta membaca buku apalagi membeli buku yang diusulkan oleh dosen, sepeti yang diceritakan Bpk. Didi Rukmana. SCL menawarkan banyak metode pembelajaran orang dewasa dengan tujuan fokus pada keaktifan kereka sebagai subjek belajar. Dosen tidak lagi sebagai ek belajar pemberi contoh atau teladan, melainkan sebagai teman belajar. Mahasiswa berhak menawarkan topik yang akan mereka pelajari dan tidak lagi harus bergantung pada topik yang diberikan oleh dosen. Dalam proses mengajar-belajar, dosen bertugas membantu agar topik pembelajaan menuju sasaran yang diinginkan mahasiswa. Dalam TCL, yang belajar adalah mahasiswa. Dosen mengajar mereka belajar. Mereka mengikuti proses mengajar-belajar yang diatur sepenuhnya oleh dosen. Yang belajar adalah mahasiswa. Hasil belajar mereka sudah benar atau salah sepenuhnya ditentukan oleh dosen. Sumber kebenaran ada pada dosen sebagai pengarah. Mahasiswa wajib setuju pada benar atau salah yang diputuskannya. Metode ini dianggap menempatkan mahasiswa sekedar sebagai objek mengajar-belajar. Bila dalam TCL mahasiswa dianggap sebagai objek belajar dan dosen adalah sumber kebenaran, bagaimana dengan SCL? Walau peran mahasiswa dalam metode SCL dikatakan sebagai objek belajar yang aktif, keputusan benar atau salah masih merupakan hak dosen. Sumber kebenaran ada pada dosen. Mahasiswa diberikan hak aktif mendiskusikan tentang pikiran-pikiran mereka, tetapi keputusan tetap menjadi hak prerogatif dosen. Benar kata dosen maka harus benar bagi mahasiswa. Demikian sebaliknya! Uraian di atas menunjukkan pada kita bahwa walau berbeda sebagai objek dan subjek belajar, baik metode TCL maupun SCL sama-sama menempatkan bahwa sumber kebenaran adalah dosen. Dalam kedua metode tersebut, yang dianggap sedang belajar adalah mahasiswa. Dosen pada TCL adalah pengarah mahasiswa dan pada SCL dosen adalan teman mahasiswa. Oleh sebab itu, walau TCL dan SCL di perguruan tinggi diterapkan untuk belajar-mengajar orang dewasa, kedua metode ini masih dalam tahap pertama dan kedua dari paradigma yang dianut Taman Siswa. Paradigma ketiga yang menempatkan orang dewasa sebagai sumber kebenaran baru tidak terjadi pada kedua metode tersebut. Pertanyaannya,: (1) Apakah dalam proses mengajar-belajar semua dosen kita memang menganut kepercayaan bahwa kebenaran sejatinya adalah hak prerogatif mereka?; (2) Bagaimana menempatkan mahasiswa sebagai subjek belajar bila kebenaran hanya ada pada dosen semata? Belajar Dari William PerkinDi masa lalu metode belajar ditentukan oleh mereka yang dianggap sebagai “pakar” di bidang pendidikan. Mereka melatih para tutor untuk mengajarkan apa yang telah mereka ajarkan kepada para guru termasuk dosen di sekolah-sekolah. Berbagai metode belajar berikut sejarah penemu dan “setting” yang dibutuhkan menjadi santapan di ruang-ruang pelatihan. Di lapangan, metode belajar yang dilatih para tutor lebih banyak membingungkan para dosen. Tutor menjelaskan bahwa kegagalan terjadi karena dosen tidak mengikuti arahan-arahan yang diberikan oleh tutor. Misalnya “problem based learning” membutuhkan ruangan-ruangan kecil untuk kelompok belajar, tetapi ruangan-ruangan tersebut tidak tersedia. Tutor memberi jebakan yang mana harus didahulukan, ketersediaan ruangan belajar mengikuti kebutuhan metode belajar yang ditentukan atau metode belajar menyesuaikan dengan ruangan-ruangan yang tersedia. Jawabannya adalah metode belajar memiliki SOP yang harus diikuti tahap demi tahap termasuk fasillitas yang dibutuhkan. Bila tidak diikuti, metode itu tak akan gagal. Metode belajar adalah cara belajar. Keberhasilan suatu metode bukan hanya ditentukan oleh SOP dan fasilitas yang disyaratkan, melainkan oleh bagaimana mereka yang belajar memaknai hakikat belajar. Kepercayaan bahwa rasa ingin tahu itu seyogyanya dilakukan dengan landasan hakikat belajar yang dianut mereka yang belajar. Metode belajar yang sama bisa dilaksanakan berbeda oleh mereka yang punya paradigma belajar berbeda. Metode belajar bukan sekedar perbedaan perlakuan antara TCL dengan SCL. Dosen dan mahasiswa yang berparadigma bahwa sumber kebenaran ada pada dosen saja akan menghasilkan atmosfir belajar yang berbeda dengan dosen dan mahasiswa yang berparadigma bahwa sumber kebenaran bukan hanya pada dosen semata tetapi juga ada pada mahasiswa. Atmosfir belajar dalam metode balajar ditentukan oleh paradigma pembelajar dan bukan sebaliknya. Umumnya para tutor memberi alasan bahwa walaupun perguruan tinggi menganut paradigma SCL, TCL tak bisa diabaikan katena beberapa mata kulaih spesifik membutuhkan TCL. Misalnya

casibom casibom giriş casibom casino siteleri deneme bonusu veren siteler canlı casino siteleri
casibomcasibom güncel girişcasibomcasibom girişcasibommarsbahis girişbahsegel güncelmarsbahis girişcasibomcasibom