LEARNING or TEACHING Kembali Paradigma PembelajaranDi pentas-pentas mengajar-belajar di Unhas, waktu kita umumnya dihabiskan dengan mendengar kelompok tutor menyanyikan lagu Student Center Learning. Mereka menggemakan How To Learn dari bait ke bait yang syairnya dikutip dari berbagai Leaning Methods. Setelah itu kelompok tutor Teaching Center mendendangkan How To Teach dari Teaching Methods dengan kata pengantar bahwa walau syair ini jadul tetapi juga tak kalah indahnya dibanding How To Learn. Learning methods atau teaching methods adalah cara mengajar-belajar. Cara itu ditentukan oleh kepecayaan seseorang tentang realitasnya. Belajar adalah proses mencari tahu realitas. Mencari siapakah yang paling sahi sebagai penentu realitas itu. Di Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara menerapkan kepercayaan belajar-mengajar: (1) ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi contoh); (2) ing madya mangun karsa (di tengah memberi semangat); dan (3) tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan). Ki Hadjar Dewantara percaya bahwa ketika murid kanak-kanak, guru adalah sumber kebenaran bagi muridnya. Guru memberi contoh di depan dan murid mencontoh apa yang dilakukan gurunya. Ketika remaja, guru memberi kesempatan murid belajar dengan didampingi guru. Saat dewasa, murid belajar sendiri dan guru mengambil posisi di belakangnya. Yang pertama, sumber kebenaran adalah guru. Murid belajar dengan mengikuti kebenaran gurunya. Kedua, sumber kebenaran masih pada guru. Guru adalah teman murid belajar. Disini ada interaksi dialog kebenaran antara guru dan murid. Ketiga, guru berada di belakang melepas sumber kebenaran yang dimilikinya yang diberikan kepada muridnya sebagai sumber kebenaran baru. Kepercayaan siapa pemilik realitas kebenaran yang kemudian dikenal dengan istilah paradigma ini menentukan cara seseorang belajar. Paradigma bukan soal keterpisahan syair lagu antara “learning” atau “teaching”. Teaching Center Learning dalam Taman Siswa ada pada kepercayaan pertama. guru adalah contoh belajar murid. Student Center Learning ada pada kepercayaan kedua. Guru dan murid menjadi teman belajar. Pertanyaannya, apakah hanya dalam Student Center Learning guru dan murid bisa mengambil posisi berteman sedangkan Teaching Center tidak? Jebakan Student Center LearningDalam pelatihan-pelatihan atau workshop-workshop mengajar-belajar di pendidikan tinggi yang sering melibatkan psikolog, peserta selalu diingatkan pentingnya menyadari agar dosen menempatkan mahasiswa sebagai subjek belajar. Kemudian dijelaskan landasan teorinya bagaimana cara manusia belajar sejak kanak-kanak hingga menjadi orang dewasa. Mahasiswa adalah pembelajar dewasa dan subjek belajar yang membutuhkan proses belajar berbeda dengan anak-anak. Metode belajar mengandalkan kuliah atau ceramah yang menghadirkan dosen berdiri di depan kelas tak lagi dianggap menarik minat belajar mahasiswa. Mereka juga tak lagi tertarik bila diminta membaca buku apalagi membeli buku yang diusulkan oleh dosen, sepeti yang diceritakan Bpk. Didi Rukmana. SCL menawarkan banyak metode pembelajaran orang dewasa dengan tujuan fokus pada keaktifan kereka sebagai subjek belajar. Dosen tidak lagi sebagai ek belajar pemberi contoh atau teladan, melainkan sebagai teman belajar. Mahasiswa berhak menawarkan topik yang akan mereka pelajari dan tidak lagi harus bergantung pada topik yang diberikan oleh dosen. Dalam proses mengajar-belajar, dosen bertugas membantu agar topik pembelajaan menuju sasaran yang diinginkan mahasiswa. Dalam TCL, yang belajar adalah mahasiswa. Dosen mengajar mereka belajar. Mereka mengikuti proses mengajar-belajar yang diatur sepenuhnya oleh dosen. Yang belajar adalah mahasiswa. Hasil belajar mereka sudah benar atau salah sepenuhnya ditentukan oleh dosen. Sumber kebenaran ada pada dosen sebagai pengarah. Mahasiswa wajib setuju pada benar atau salah yang diputuskannya. Metode ini dianggap menempatkan mahasiswa sekedar sebagai objek mengajar-belajar. Bila dalam TCL mahasiswa dianggap sebagai objek belajar dan dosen adalah sumber kebenaran, bagaimana dengan SCL? Walau peran mahasiswa dalam metode SCL dikatakan sebagai objek belajar yang aktif, keputusan benar atau salah masih merupakan hak dosen. Sumber kebenaran ada pada dosen. Mahasiswa diberikan hak aktif mendiskusikan tentang pikiran-pikiran mereka, tetapi keputusan tetap menjadi hak prerogatif dosen. Benar kata dosen maka harus benar bagi mahasiswa. Demikian sebaliknya! Uraian di atas menunjukkan pada kita bahwa walau berbeda sebagai objek dan subjek belajar, baik metode TCL maupun SCL sama-sama menempatkan bahwa sumber kebenaran adalah dosen. Dalam kedua metode tersebut, yang dianggap sedang belajar adalah mahasiswa. Dosen pada TCL adalah pengarah mahasiswa dan pada SCL dosen adalan teman mahasiswa. Oleh sebab itu, walau TCL dan SCL di perguruan tinggi diterapkan untuk belajar-mengajar orang dewasa, kedua metode ini masih dalam tahap pertama dan kedua dari paradigma yang dianut Taman Siswa. Paradigma ketiga yang menempatkan orang dewasa sebagai sumber kebenaran baru tidak terjadi pada kedua metode tersebut. Pertanyaannya,: (1) Apakah dalam proses mengajar-belajar semua dosen kita memang menganut kepercayaan bahwa kebenaran sejatinya adalah hak prerogatif mereka?; (2) Bagaimana menempatkan mahasiswa sebagai subjek belajar bila kebenaran hanya ada pada dosen semata? Belajar Dari William PerkinDi masa lalu metode belajar ditentukan oleh mereka yang dianggap sebagai “pakar” di bidang pendidikan. Mereka melatih para tutor untuk mengajarkan apa yang telah mereka ajarkan kepada para guru termasuk dosen di sekolah-sekolah. Berbagai metode belajar berikut sejarah penemu dan “setting” yang dibutuhkan menjadi santapan di ruang-ruang pelatihan. Di lapangan, metode belajar yang dilatih para tutor lebih banyak membingungkan para dosen. Tutor menjelaskan bahwa kegagalan terjadi karena dosen tidak mengikuti arahan-arahan yang diberikan oleh tutor. Misalnya “problem based learning” membutuhkan ruangan-ruangan kecil untuk kelompok belajar, tetapi ruangan-ruangan tersebut tidak tersedia. Tutor memberi jebakan yang mana harus didahulukan, ketersediaan ruangan belajar mengikuti kebutuhan metode belajar yang ditentukan atau metode belajar menyesuaikan dengan ruangan-ruangan yang tersedia. Jawabannya adalah metode belajar memiliki SOP yang harus diikuti tahap demi tahap termasuk fasillitas yang dibutuhkan. Bila tidak diikuti, metode itu tak akan gagal. Metode belajar adalah cara belajar. Keberhasilan suatu metode bukan hanya ditentukan oleh SOP dan fasilitas yang disyaratkan, melainkan oleh bagaimana mereka yang belajar memaknai hakikat belajar. Kepercayaan bahwa rasa ingin tahu itu seyogyanya dilakukan dengan landasan hakikat belajar yang dianut mereka yang belajar. Metode belajar yang sama bisa dilaksanakan berbeda oleh mereka yang punya paradigma belajar berbeda. Metode belajar bukan sekedar perbedaan perlakuan antara TCL dengan SCL. Dosen dan mahasiswa yang berparadigma bahwa sumber kebenaran ada pada dosen saja akan menghasilkan atmosfir belajar yang berbeda dengan dosen dan mahasiswa yang berparadigma bahwa sumber kebenaran bukan hanya pada dosen semata tetapi juga ada pada mahasiswa. Atmosfir belajar dalam metode balajar ditentukan oleh paradigma pembelajar dan bukan sebaliknya. Umumnya para tutor memberi alasan bahwa walaupun perguruan tinggi menganut paradigma SCL, TCL tak bisa diabaikan katena beberapa mata kulaih spesifik membutuhkan TCL. Misalnya